Penanaman kakao di Indonesia dalam skala perkebunan dimulai pada 1780 di Minahasa. Selanjutnya, pada 1858 perkebunan kakao dibangun di Ambon serta Seram. Perkebunan tersebut kurang berkembang akibat serangan hama penggerek buah kakao. Sementara itu, di Jawa penanaman kakao berkembang pesat awal abad ke-19. Hal tersebut karena kakao digunakan sebagai pengganti tanaman kopi yang hancur oleh serangan penyakit karat daun.
Usaha perbenihan kakao memberikan daya tarik berupa keuntungan usaha yang cukup baik secara ekonomis. Misalnya, tahun 2007 harga benih kakao per butir Rp400,00 diperbandingkan dengan harga tinggi biji kakao kering per kg mencapai Rp20.000,00. Dalam satu kilogram biji kakao kering terdiri dari kurang lebih 1.000 butir. Artinya, harga biji per butir kakao adalah Rp20,00 .
Dengan patokan harga tersebut, harga satu butir benih kakao 20 (dua puluh) kali lipat harga satu butir biji kakao kering. Perbedaan harga ini merupakan suatu pemberian nilai lebih terhadap benih kakao yang memiliki muatan teknologi, khususnya genetis.
Kebutuhan benih kakao sangat tinggi pada bulan Juli—September (semester I). Sementara itu, kebutuhan benih kakao relatif lebih rendah pada bulan Oktober—November (semester II). Dengan demikian, benih kakao yang dapat disalurkan kepada pekebun hanya panen benih pada semester I. Namun, buah kakao dari sumber benih yang dipanen pada saat tidak ada pemesanan benih kakao dijual sebagai biji kakao kering.
Sumber : pertanianku
I have a blog to share knowledge with you and the latest news