Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Hal tersebut juga tampak melalui sebuah studi yang dilakukan oleh sosiolog dari The University of California (UCLA).
Penelitian yang dipimpin oleh Giovanni Rossi berkolaborasi dengan tim internasional menemukan bahwa manusia saling mengandalkan satu sama lain untuk mendapatkan bantuan secara terus-menerus.
Studi ini mengeksplorasi kapasitas manusia untuk bekerja sama satu sama lain. Mereka menemukan bahwa orang-orang menyampaikan kebutuhan bantuan, seperti meminta seseorang untuk memberikan alat makan, setiap beberapa menit sekali.
Selain itu, studi ini juga mengungkap bahwa permintaan bantuan kecil tersebut lebih sering dipenuhi dibandingkan ditolak. Pada kesempatan yang jarang terjadi ketika seseorang menolak, mereka akan menjelaskan alasannya.
Oleh sebab itu, Giovanni Rossi berpendapat bahwa melalui temuan dalam studi ini menunjukkan bahwa sikap membantu merupakan refleks yang melekat dalam setiap kita, seperti yang dilansir dari laman UCLA.
Melampaui Perbedaan Budaya
Kebiasaan manusia untuk membantu orang lain ketika dibutuhkan dan menjelaskan ketika bantuan tidak dapat diberikan, diketahui melampaui perbedaan budaya. Pasalnya, hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya, orang dari berbagai budaya memiliki perilaku kerjasama yang serupa. Fakta ini tidak seperti yang ditunjukkan pada penelitian sebelumnya.
Temuan dalam studi ini membantu memecahkan teka-teki yang dihasilkan oleh penelitian antropologi dan ekonomi sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya, mereka menekankan adanya variasi dalam aturan dan norma yang mengatur kerjasama.
Misalnya, pemburu paus di Lamalera, Indonesia, mengikuti aturan yang sudah ditetapkan tentang pembagian hasil tangkapan. Sementara, para pemburu pengumpul makanan Hadza di Tanzania akan membagikan makanan mereka untuk menghindari gosip negatif.
Selain itu, di Kenya, penduduk desa Orma yang lebih kaya diharapkan membayar untuk barang-barang publik seperti proyek jalan. Penduduk desa Gnau yang lebih kaya di Papua Nugini, di sisi lain, akan menolak tawaran semacam itu karena menciptakan kewajiban saling memberi yang canggung kepada tetangga-tetangga yang lebih miskin.
"Perbedaan budaya seperti ini telah menciptakan teka-teki dalam pemahaman kerja sama dan bantuan di antara manusia," ungkap Rossi.
"Apakah keputusan kita dalam berbagi dan membantu ditentukan oleh budaya di mana kita tumbuh? Ataukah manusia secara alami murah hati dan suka memberi?" tambahnya.
Penelitian Lintas Budaya
Untuk mengungkap hubungan antara keputusan membantu seseorang dengan kebudayaan, para peneliti menganalisis lebih dari 40 jam rekaman video kehidupan sehari-hari yang melibatkan lebih dari 350 orang.
Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil sampel di lokasi yang beragam secara geografis, linguistik dan budaya. Tim peneliti melakukan penelitian di kota-kota Inggris, Italia, Polandia, dan Rusia, serta desa-desa di Ekuador, Ghana, Laos, dan Australia Aborigin.
Analisis tersebut difokuskan pada rangkaian kejadian di mana seseorang mengirimkan sinyal permintaan bantuan, seperti meminta secara langsung atau terlihat kesulitan dalam melakukan tugas, dan orang lain meresponnya.
Tim peneliti menemukan terdapat lebih dari 1.000 permintaan seperti itu, yang terjadi rata-rata sekitar dua menit. Situasi tersebut melibatkan keputusan biaya rendah terkait berbagi barang-barang untuk penggunaan sehari-hari atau membantu melakukan tugas sehari-hari.
Keputusan untuk membantu dengan biaya rendah lebih sering terjadi dibandingkan keputusan untuk membantu dengan biaya tinggi. Misalnya, membagi hasil tangkapan paus yang sukses atau berkontribusi dalam pembangunan jalan desa, jenis keputusan ini terbukti dipengaruhi dengan sangat kuat oleh budaya.
Membantu Tujuh Kali Lebih Sering
Jika dihadapkan dengan permintaan kecil, seseorang tujuh kali lebih sering untuk membantu daripada menolaknya dan enam kali lebih sering membantu daripada mengabaikan. Kendati demikian, memang beberapa di antara kita akan menolak atau mengabaikan permintaan tersebut.
Studi ini mengungkap penolakan dan pengabaian akan permintaan-permintaan kecil memiliki persentase yang lebih sedikit daripada tingkat penerimaan bantuan. Diketahui tingkat penolakan rata-rata adalah 10%, pengabaian 11%, sementara tingkat pemenuhan sebesar 79%.
Diketahui, preferensi untuk memenuhi permintaan-permintaan kecil ini berlaku di semua budaya dan tidak dipengaruhi oleh hubungan yang terjalin antara orang yang meminta bantuan dengan yang membantu, seperti keluarga atau bukan.
Saat membantu, biasanya mereka tidak akan menjelaskan alasannya, tetapi ketika mereka menolak, 74% dari mereka akan memberikan alasan eksplisit. Temuan tersebut menunjukkan bahwa manusia memberikan bantuan tanpa syarat sehingga mereka tidak perlu menjelaskan alasan ia membantu.
"Preferensi lintas budaya untuk memenuhi permintaan-permintaan kecil tidak diprediksi oleh penelitian sebelumnya tentang pembagian sumber daya dan kerja sama, yang sebaliknya menunjukkan bahwa budaya seharusnya menyebabkan perilaku prososial bervariasi dalam cara yang signifikan karena norma lokal, nilai-nilai, dan adaptasi terhadap lingkungan alam, teknologi, dan sosioekonomi," kata N J Enfield, penulis koresponden makalah ini dan seorang ahli bahasa di University of Sydney.
"Faktor-faktor ini dan faktor lainnya pada dasarnya bisa membuat orang lebih mudah mengatakan 'tidak' terhadap permintaan-permintaan kecil, tetapi ini bukan apa yang kami temukan," tambahnya.
Ia juga menegaskan, meskipun variasi memainkan peran penting dalam acara istimewa atau pertukaran dengan biaya tinggi, tetapi saat dihadapkan dengan interaksi sosial dalam level mikro, perbedaan budaya sebagian besar menghilang. Hal ini menunjukkan kecenderungan spesies kita untuk memberikan bantuan ketika dibutuhkan menjadi terlihat secara universal.
Sumber : Hot.detik
I have a blog to share knowledge with you and the latest news